Pertengahan 1991. Pagi ba'da
Shubuh, mobil yang ditumpangi
YAI RA berangkat dari Ndalem Al
Fithrah Kedinding Surabaya,
meluncur menuju Srengat -
Blitar. Pagi itu hari Rabu, jadwal
Mubaya'ah untuk Jamaah Blitar.
Di dalam mobil hanya 3 orang :
YAI RA, seorang sopir dan
seorang anak muda penderek,
yang belum setahun mengenal
Beliau RA.
Saat meluncur di tol, si penderek
ini bicara dalam hatinya sendiri,
"Aduuh, perut saya agak perih.
Lapar. Semalam memang
kelupa, tak sempat makan
malam". Namun kemudian,
dalam hitungan waktu kurang
dari lima menit, YAI RA tiba-tiba
berucap Dawuh :
"Gini ini, yang enak cari sarapan
dulu, ya Fulan, yaa ...??"
Antara kaget bercampur senang,
sambil berusaha berlagak tetap
tenang, si penderek merespon :
"Yaa Yai, saya nderek"
"Nderek..?! Ya sudah pasti itu.
Tapi sejujurnya, kamu setuju
gak?" Tanya Beliau RA.
"Yaa Yai, saya sangat setuju"
jawab si penderek.
Beliau RA kemudian Dawuh :
"Ya begitu. Orang hidup itu
harus jujur diri. Yang konsekuen.
Jangan omong 'ya nderek Yai'
seolah benar-benar pasrah,
padahal dalam hatinya sangat
berharap... Duuuhh, gayanya
saja pasrah ... Padahal ... Iyaa ??
Jangan begitu."
"Ya sudah. Kita nanti sarapan di
Pandaan saja, di warung
langganan biasanya itu" lanjut
Beliau RA.
Mendengar dawuh itu, si
penderek semakin merasa lapar
dan pingin rasanya segera
nyampai Pandaan. Dalam hati si
penderek, pingin sekali
menikmati rasanya sarapan
rawon. Saking pinginnya, seolah
rasa rawon itu sudah diujung
lidahnya.
Beliau kemudian Dawuh, seolah
hanya mengajak bercanda :
"Tapi, kalau saya perhatikan,
seringkali, menu yang kamu
pilih itu sama dengan yang saya
pilih. Sekarang begini. Kita bikin
perjanjian. Kali ini, kamu gak
boleh milih menu yang sama
dengan pilihan saya.
Bagaimana? Setuju?"
Wahh, Yai ini serius?? Pikir si
penderek. Tapi gak masalah.
Sebab seringkali di warung
langganan itu, Beliau memilih
gulai. Memang gulainya itu yang
disukai Beliau. Sedangkan
sekarang, yang saya pingini
rawon. Begitulah yang
berkelebat dalam pikiran si
penderek.
"Ya Yai. Setuju. Saya tidak akan
memilih menu sama, dengan
yang akan Yai pilih" tekat si
penderek.
Sampailah perjalanan di
Pandaan. Dan sesuai janjinya,
YAI RA minta Ke sopir agar
berhenti untuk sarapan di
warung langganan. Warung
yang sederhana itu, rupanya
baru saja dibuka. Ibu si penjual
kelihatan masih merapikan
tatanan lauk dan kerupuk.
Melihat YAI RA datang, ibu itu
tersenyum, langsung
menyambut sambil
mempersilakan dan bertanya ke
YAI RA :
"Monggo Yai, ngersaaken dahar
menopo? (=Silakan Yai, Yai
menginginkan makan apa?)"
Jawab Yai tanpa babibu :
"Rawon..!"
Wah wah, Yai pilih rawon...!? Lha
saya terus milih apa? Pikir si
penderek. Antara kaget dan
bingung.
"Mas mau sarapan apa?" Tanya
si ibu pada penderek.
Mungkin karena bingung, si
penderek tidak segera jawab, Yai
langsung menegurnya :
"Cepat Fulan ..! Kita ini sedang
ditunggu jamaah. Ayo segera,
kamu pesan apa?"
Si penderek akhirnya dengan
agak ngawur dan terkesan asal
jawab, dia nyebut : "Pecel".
Tak lama kemudian, seporsi nasi
rawon dihaturkan ke hadapan
YAI RA. Panasnya kuah rawon itu
masih mengepulkan asap.
Herannya, YAI RA tidak segera
mendaharnya. Beliau biarkan
saja rawon itu di hadapannya.
Tapi, aroma kepulan asap rawon
itu ke penciuman penderek, dan
tak dipungkiri, benar-benar
menggiurkan selera.
"Monggo Yai, dahar duluan.
Mumpung masih panas" Matur si
penderek memberanikan diri.
Tapi di balik itu barangkali dia
pingin segera menepis aroma
rawon yang merasuki
penciumannya itu.
Tapi YAI RA Dawuh : "Gak lah.
Kita toleran. Kita nanti mulainya
bareng-bareng".
Beberapa saat tidak lama,
keluarlah sepiring nasi pecel dan
langsung dihidangkan di depan
penderek. Maka mulailah makan
bersama.
Dalam menu pecel itu, sayurnya
kelihatan masih segar. Bumbu
pecelnya juga enak. Lauk yang
menyertai bervariasi. Ada abon
daging. Juga telor matasapi
serta tempe goreng yang tebal
tampak baru saja diangkat dari
penggorengan.
Setelah dua-tiga kali sendokan,
dalam hati penderek yang
semula tidak begitu berhasrat
terhadap pecel, akhirnya muncul
pikiran : "enak juga yaa pecel
ini". Dan dia mulai lahap
menikmatinya.
Tapi apa kemudian yang terjadi.
YAI RA tiba-tiba menarik piring
pecel, dan bersamaan dengan
itu, menyodorkan rawonnya ke
hadapan penderek, sambil
kemudian Dawuh :
"Tukar. Supaya sama-sama
merasakan"
Si penderek keheranan gak habis
pikir. Yai ini bagaimana. Saya
sudah memupus pingin saya
pada rawon, dan sudah
melupakannya, dan kini baru
saja merasa nikmat dengan
pecel itu, koq malah ditarik,
ditukar dengan rawon yang saya
sudah gak pingin lagi. Itulah
yang berkecamuk di hati
penderek. Tapi YAI RA diam saja.
Hingga selesai makan.
Setelah naik mobil, dalam
perjalanan YAI RA Dawuh. Lebih-
kurang isinya sebagai berikut :
ORANG MENJALANI HIDUP ITU,
JANGAN TERPAKU PADA
HARAPAN/KEINGINAN/TARGET.
JANGAN.
SILAKAN KAMU BERCITA-CITA,
TAPI JANGAN TERPAKU. JANGAN
KEMUDIAN MENUTUP DIRI - EMOH
TERHADAP YANG SELAIN CITA
CITAMU ITU.
KENAPA? KALAU KAMU HANYA
TERPAKU PADA HARAPANMU,
MAKA SELAMANYA KAMU TIDAK
AKAN MERASAKAN KEBAHAGIAAN.
SEBAB YANG NAMANYA ORANG
BAHAGIA, ITU ADALAH ORANG
YANG DLOHIR BATINNYA SELALU
SIAP MENERIMA DAN
MENGHADAPI KENYATAAN YANG
ADA DI DEPAN MATANYA.
BAHAGIA BUKANLAH
"TERWUJUDNYA HARAPAN".
BUKAN. ITU TIPUAN NAFSU. ITU
SEMU DAN SEMENTARA. COBA
KAMU BUKTIKAN, IKUTI
KEMAUANMU, GAK LAMA KOQ,
KAMU AKAN BOSAN, DAN MERASA
SUDAH GAK BAHAGIA LAGI,
PADAHAL YANG KAMU MAUI ITU
MASIH KEPEGANG TANGANMU
0 comments:
Post a Comment